Beberapa waktu lalu, saya bersama rombongan ACMI dan Pelangi Benua dalam program Unveiling Jailolo, A Culinary & Cultural Journey to the East berkunjung menemui Suku Sahu, penduduk asli Jailolo yang dapat kita jumpai di Kecamatan Sahu Halmahera barat. Mereka tinggal di rumah adat bernama Sasadu, bentuknya seperti bangunan pendopo beratapkan anyaman daun sagu.
Serunya, dalam kunjungan tersebut, kami dijamu makan dalam upacara adat Orom Sasadu. Acara ini dihelat pada awal musim tanam atau sesaat setelah panen. Seperti apa serunya makan bersama Suku Sahu? Berikut adalah beberapa catatan saya dalam perjalanan tersebut.
Rumah Adat Sasadu
Sasadu merupakan bangunan yang mencerminkan jiwa masyarakat Sahu, yang memiliki enam jalan masuk dan keluar tanpa memiliki daun pintu. Hal ini melambangkan keramahan masyarakat Sahu; terbuka dan mau menerima siapa pun yang berkunjung ke rumah atau wilayahnya.
Untuk membangun rumah adat ini, tidak boleh sembarangan. Membangunnya harus dari arah Timur ke Barat, dan material kayu yang dipakai juga kayu dan bambu tertentu. Jika diperhatikan, sangat menarik bahwa bagian keempat sisi rumah yang digunakan sebagai pintu masuk, dibuat lebih rendah dibandingkan rumah pada umumnya. Hal ini punya makna supaya orang yang bertamu harus tunduk dan hormat kepada adat istiadat dan sesama.
Rumah ini dibangun menggunakan paku, kayu dan tali. Sebagai contoh, atap Sasadu yang terbuat dari daun Sagu diikat dan dipaku. Ini melambangkan kebersamaan Suku Sahu. Dari desainnya, rumah adat Sasadu berbentuk Burung Garuda berkepala dua yang sedang mengerami telurnya. Burung Garuda ini melambangkan Kesultanan Ternate. Filosofinya adalah rumah adat Sasadu dianggap sebagai pelindung Suku Sahu.
Suku Sahu, membangun rumah adatnya dengan satuan ukuran tertentu yang diambil melalui keputusan adat. Sasadu terdiri atas delapan tiang utama. Dulu saat pertama kali Sasdu dibangun, ukuran tinggi tiang bukan berdasarkan meteran melainkan berdasarkan tinggi tubuh satu perempuan. Jadi, perempuan tersebut berdiri kemudian ditambah posisi duduk dan sembilan kepalang di atasnya.
Meskipun tidak menggunakan meteran, delapan tiang ini memiliki tinggi yang sama. Dulu lantai sasadu terbuat dari tanah yang dikeraskan, namun sekarang telah berganti menjadi lantai dari campuran semen dan pasir. Di atas lantai, dibangun enam buah kursi panjang yang disebut dego-dego dan empat buah meja panjang yang disebut tataba.
Sasadu menjadi tempat berkumpulnya warga untuk bermusyawarah dan merayakan pesta panen raya padi. Perayaan panen padi bisa berlangsung selama tujuh hingga sembilan hari. Selama perayaan ini, musik khas, dan makanan disajikan tidak pernah putus. Konon, kabarnya jika kita sudah berada di dalam Sasadu, kita tidak pernah merasa kenyang. Wah, menarik ya.
Acara adat Orom Sasadu
Saat rombongan Pelangi Benua dan ACMI mengikuti Orom Sasadu. Kami disambut oleh tarian Legu Salai dan kepala adat memakaikan Songko kepada perwakilan tamu. Makan adat Orom Sasadu merupakan ritual adat masyarakat suku Sahu yang dilaksanakan sebagai bentuk rasa syukur atas berkat yang diterima dari Sang Pencipta atas hasil panen yang melimpah.
Lebih dari itu, dalam Orom Sasadu selalu tersaji nasi kembar atau e o jala. Nasi kembar ini dibuat orang-orang Jailolo ketika agama mulai memasuki wilayah tersebut sekitar tahun 1500. Umumnya, di wilayah pedalaman, warga Jailolo memeluk Nasrani, sementara itu di pesisir banyak yang dipengaruhi Kesultanan Ternate yang memeluk agama islam.
Menurut Kepala Adat Suku Sahu Desa Tahomo, ochlottoh leluhur Suku Sahu memeluk kedua agama tersebut. Untuk itu, nasi kembar juga jadi simbol betapa kuatnya persaudaraan yang melintasi dua agama tersebut.
Tarian Legu Salai
Tarian ini merupakan salah satu tarian tradisional Halmahera Barat untuk menyambut tamu kesultanan atau saat merayakan pesta syukuran atas panen padi. Tarian Legu Salai biasanya ditarikan beberapa lelaki, kira-kira tiga sampai tujuh orang, dan mereka memakai payung yang artinya melindungi . Ini juga berarti menujukkan semangat kerja yang tinggi kepada perempuan.
Tarian Salai atau perempuan merupakan simbol dari ungkapan kegembiraan karena sang putri yang jumlahnya empat menerima pakaian dari sultan. Jumlahnya empat karena melambangkan empat kesultanan Ternate yaitu Jailolo, Bacan, Tidore, dan Ternate.
Tarian diiringi dengan pukulan Tifa. Tahapan pertama disebut Kore-kore yang menandakan dimulainya tarian. Kemudian Ado-ado yang mana pukulan Tifa mulai berubah ditandai penari melakukan memutar payung dan mengipaskan jubahnya. Tahapan ketiga ada Silalar. Pada tahapan ini ritme pukulan Tifa semakin cepat begitu juga dengan tarian yang semakin cepat menyesuaikan Tifa.
Sajian menu tradisional Jailolo
Selain e a jala, kami disajikan beberapa sajian tradisional khas Jailolo, yaitu:
1. e a jala (nasi kembar)
2. e a to’u (nasi bambu biasa)
3. nyao kapo (ikan masak kering)
4. nyao sananga (ikan goreng)
5. jijidu / bia (kerang rica)
6. dabudabu sidudu igon (sambal)
7. papeda ( bubur sagu)
8. dabuolaola (sayur lilin kuah santan)
9. sayur bunga pepaya
10. o’e ja’du (saguer)
11. acar kuning
Favorit saya adalah kerang atau Bia yang dimasak rica, ikan goreng, dan acar kuning. Saya juga tak bosan dengan sajian sayur lilin masak santan. Rasanya suka sekali dengan tekstur Terubuk atau sayur lilin.
Suasana makan makin seru karena kami berbaur di empat meja panjang bersama warga setempat. Di tiap meja disediakan Sula, mangkok terbuat dari pelepah pohon sagu yang dilipat menyerupai mangkuk makanan. Ujung dan pangkalnya diikat menggunakan tali yang terbuat dari rotan atau kulit bambu. Biasanya Sula ini digunakan sebagai tempat atau wadah untuk menampung hasil bumi yang sudah dihaluskan seperti tepung sagu dan padi.
Layaknya mendatangi undangan resmi, para Ibu memakai kain dan kebaya khas mereka, dengan rambut disanggul dan memakai hiasan kepala dari benang wool berwarna cerah. Bagi mereka, pantang memakai hiasan wool dengan warna-warna hitam dan abu di acara syukuran seperi Orom Sasadu. Semua wajah bahagia, makan dan menari gembira.
Saya pun turut gembira, telah disambut bak keluarga di Orom Sasadu.