Saya merasa terhormat menjadi bagian dari acara launching Indonesia Flair 2018, Dealing with The Opposites, sebuah studi di Indonesia dan oleh IPSOS sebuah perusahaan Perancis yang fokus kepada marketing research. Bertempat di restauran Bunga Rampai, ada 10 poin yang disampaikan dari studi mereka. Turut hadir dalam acara tersebut ada Managing Director IPSOS yaitu Bapak Soeprapto Tan dan Prime Secretary dari Kedutaan Prancis untuk Indonesia, Quentin Biehler.
Sebelum masuk ke pembahasan, saya ingin sedikit menjelaskan soal IPSOS. IPSOS Indonesia yang memulai kegiatannya sejak tahun 2009, bergerak di industri riset pemasaran, survey, dan polling di Indonesia. Di hari tersebut, IPSOS Indonesia memperkenalkan hasil studi terbaru yang diberi nama Indonesia Flair; menampilkan penelitian dan pengamatan dari perspektif dan spektrum yang luas untuk menggambarkan kondisi sebuah Negara.
Tema diskusinya adalah Bagaimana Indonesia Melihat Dirinya Selama Setahun ini. Menurut Para Spesialis di IPSOS Indonesia dalam Studi Indonesia Flair 2018.
Dalam dunia kuliner Indonesia, menurut saya ada paradoks atau bisa dibilang masalah pangan yang selalu muncul; yaitu import rempah dan bumbu. Selain itu, masalah juga kerap datang dari keamanan pangan, pro dan kontra investor asing di bidang F&B, berkurangnya lahan pertanian akibat pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat, sampai banyaknya gerai-gerai restoran asing siap saji.
Hanya saja, semua permasalahan itu tidak mengurangi kecintaan masyarakat terhadap kuliner lokal . Contohnya, meski ada beberapa ingredients import seperti bawang merah, bawang putih, dan cengkeh; hal ini tidak membuat masyarakat berhenti masak.
Saya melihat bahwa tren masyarakat terhadap indigineous food atau pangan lokal, semakin meningkat. Bayangkan, Indonesia yang merupakan negara kepulauan memiliki potensi keanekaragaman hayati bahan pangan yang termasuk di dalamnya rempah dan bumbu-bumbu, sumber karbohidrat, kacang-kacangan, dan sayuran. Semuanya ini biasa diolah menjadi sumber pangan masyarakat setempat.
Tidak hanya itu saja, masih banyak bahan pangan lokal yang berpotensi dikembangkan lebih lanjut. Dengan adanya media sosial, promosi kuliner baik di dalam negeri maupun luar negeri sangat terbantu. Komunikasi digital juga membuat kita bias bertukar informasi semakin mudah. Sederhananya, orang berlomba untuk memposting foto makanan sebelum disantap. We share our food online. Benar, kan?
Secara langsung, kebiasaan ini membuat tampilan makanan dibuat lebih menarik, sehingga menggugah selera. Sekarang juga sedang marak postingan makanan sehat, serba organik, vegetarian, dan vegan. Dampak media sosial seperti ini membuat gaya hidup dan pola pangan berubah juga.
Sayangnya, ada satu hal yang media sosial tidak dapat berikan untuk penggemar makanan. Apakah itu? Taste Experience, yaitu pengalaman cita rasa pada suatu makanan. Untuk mendapatkan experience ini, seseorang harus rajin mencoba berbagai jenis makanan di berbagai daerah, jalan-jalan ke pasar tradisonal untuk mengenal berbagai macam ingredients, mengikuti culinary trip yang menawarkan pengalaman kuliner bersama penduduk lokal dan mamahami kebiasaan, filosofi makanan di daerah tersebut.
Beruntungnya kita tinggal di Indonesia adalah kita tinggal di tanah yang kaya akan pangan dan rempah. Oleh karena itu, rasanya sangat disayangkan kalau kita tidak mencoba makanan dan bumbu tradisional yang sebenarnya sangat dekat dengan kita.