Pagi ini saatnya packing sebelum mengunjungi kampung mancong dan Kampung Tanjung Issuy, Jempang. Jempang merupakan kecamatan yang terkenal dengan sentra kerajinan Tenun Ulap Doyo. Bagian timur dari kecamatan ini adalah Kabupaten Kutai Kartanegara.
Sesuai rencana, kami akan menuju kecamatan ini dengan perjalanan darat. Jika kondisi jalan mulus, perjalanan kami mungkin bisa ditempuh kurang dari 4 jam. Jalanan yang kebanyakan bolongnya daripada mulus, bikin gak bisa merem juga 🙂 pemandangan kanan kiri jalan dipenuhi tanaman sawit dan banyaknya warung warung masakan Jawa.
Sepertinya banyak juga transmigran asal Jawa menetap di daerah ini , dan mata pencaharian di kecamatan Jempang ini kebanyakan di bidang pertanian, perikanan, perkebunan, kerajinan tangan, juga pertambangan.
Sebelum sampai tujuan, kami singgah makan siang di Rumah Makan Jawa indah, daerah Camp Baru.
Sampailah kami di pinggir jalan, diteruskan dengan jalan kaki melewati jembatan kayu dan menyusuri rumah penduduk dari kayu. Sebagian rumah berhadapan langsung dengan sungai Ohong dan sampan sampan. Kami jumpa dengan seorang nenek yang sedang menunggu air mengalir dari mata air, siap dengan beberapa jerigen kosong disampingnya. Ternyata nenek yang bernama Nenek Roni ini memiliki ‘hobby’ alias memiliki keterampilan menenun. Senang sekali, gak sengaja ketemu dan ngobrol lebih dekat lagi dengan Nenek Roni. Apalagi kami diajak main ke rumahnya, dan di rumah kayu yang hanya ada penerangan dari jendela, ada alat tenun yang masih rapi di bawah jendela. Nenek Roni ini rupanya senang menjahit juga, karena dekat pintu masuk ada mesin jahit yang masih bagus kondisinya.
Entah mengapa, saya selalu senang melihat mesin jahit, rasanya ada kenangan “antik”. Tenunan khas Dayak bernama Ulap Doyo buatan tangan nenek roni, cantik cantik dan semua memakai warna alam.
“Saya sudah lama tidak menenun, karena kaki saya mulai linu jika duduk terlalu lama, sepertinya saya kena asam urat, jadi saya sudah lama tidak menenun, anal saya pun tidak mau belajar menenun,” jelas Nenek Roni
Lalu nenek mulai mengeluarkan koleksi buatannya dan kami pun agak kalap melihat hasil tenunannya. Warnanya alami! Warnanya dominan coklat, merah, dan hitam. Ada beberapa hasil tenunan yang berwarna hijau dan ungu cerah. Tenunan Doyo ini, terbuat dari serat daun tanaman Doyo (Curculigo latifolia).
Proses untuk mendapatkan serat dari tanaman Doyo lumayan rumit, yaitu: Ngelorot (pengerikan daun) –> serat dijemur –> serat doyo, –> lalu jika ingin diwarna dilakukan proses pewarnaan, –> Moyaan (dipiling) , –> Buntal Doyo siap dipakai untuk menenun.
Setelah memborong *fiuh, kami melanjutkan jalan kaki menuju Lamin Mancong. WOW Lamin yang sudah dipugar EHIF (Equatorial Heritage International Foundation) tampak anggun berdiri dengan warna kayu ulin yang sudah tua tetapi terlihat apik. Lamin yang merupakan rumah khas Dayak Benuaq ini terletak di Desa Mancong, kecamatan Jempang. Para wisatawan biasanya lebih suka menyambangi tempat ini dengan berperahu Ketinting menyusuri sungai Ohong.
Rumah panggung ini biasanya memiliki ketinggian 3 meter dari kolong. Untuk masuk ke dalam Lamin, biasanya disediakan tangga yang dibuat dari sebuah batang kayu yang diukir. tetapi Lamin yang ada seakarang sudah memakai tangga kayu yang lebih simpel. Bahkan kabarnya, jaman dahulu, jika malam tiba, tangga ini ditarik ke bagian atas, jadi jika ada yang bermaksud jahat tidak bisa naik ke atas Lamin.
Di depan Lamin Mancong berjajar patung patung Blontakng. Uniknya tiap Blontakng selalu ditemani dengan ukiran jenis binatang yang berbeda, yang dipercaya binatang tersebut selalu menemani pada masa hidup arwah nya. Blontankng ini juga menandakan bahwa suatu keluarga Dayak sudah pernah melaksanakan upacara adat Kwangkai, yaitu upacara adat bagi yang telah meninggal dengan acara puncaknya yaitu pemotongan kurban Kerbau. Upacara Kwangkai ini bisa dikatakan pesta kematian karena suasana acara nya sangat ramai dan banyak sekali pengunjung yang berdatangan dari kampung tetangga.
Naik ke dalam Lamin Mancong ini membuat saya terkesima, sunyi, agak gelap tetapi bagian bawah lantai kayu di buat bolongan ventilasi sepanjang Lamin, ini membuat cahaya dari bawah Rumah panjang masuk . Aih indahnya. Di sepanjang didnding terpasang benerapa Tengkorak kerbau. Naik ke bagian atas lamin, menggunakan tangga yang cukup curam, sampailah saya ke bagian atas Lamin. Tidak disangka, pemandangan dari atas Lamin ini indah. Puas kami berfoto foto di bagian atas lamin ini. Sayangnya tidak ada pemandu khusus yang menceritakan sejarahnLamin ini, jadi kami harus bertanya tanya kepada masyarakat sekitar.
Kami kembali berjalan dan menuju kampung Tanjung Issuy, mengunjungi lamin yang lebih lecil dari Lamin mancong. lamin ini bagian belakangnya dibuat penginapan “Long House”. Sayangnya, lamin ini sekarang hanya dibuat tempat berjualan souvenir. Diseberang lamin ini ada toko souvenir “Pengerajin Sepatuk Ulap doyo dayak benuaq” menjual beragam kerajinan tangan khas dayak, dari patung/sepatuk (bahasa dayak Sepatuk, artinya Patung) , ulab doyo, kaos, gantungan kunci, dan banyak lagi kerajinan khas dayak yang unik.
Perjalanan yang menyenangkan, mendapat wawasan baru mengenai keindahan Lamin dan keunikan tenun Ulap Doyo. Keduanya patut dilestarikan, apakah masih ada generasi muda yang mau belajar menenun? Butuh ketekunan dan kesabaran luar biasa.
Matahari mulai meluncuri ke Barat, sudah saatnya kembali menempuh perjalanan panjang ke Kutai Barat. Sampai jumpa kembali Kutai Barat dan sungai Mahakamyang selalu membuat rindu ingin kembali.