Indonesia terdiri dari 34 provinsi, 17.000 pulau, 260 juta penduduk dan 714 suku bangsa. Uniknya, semua daerah tersebut punya banyak sekali makanan daerah yang punya rasa tak kalah unik satu sama lainnya. Dari satu pulau saja ada banyak sekali makanan daerah yang bisa dieksplorasi. Semuanya punya nilai budaya dan sejarah yang juga patut kita kulik.
4 Oktober 2018, saya berbincang soal Discover Indonesian Culture and Identity di Bukatalks. Turut bergabung dalam diskusi tersebut ada Rubi Roesli (Architect & Interior Designer) dan Nirwan Dewanto (Sastrawan).
Saya membahas soal makanan yang sebenarnya dibuat bukan hanya untuk memenuhi perut dan memuaskan lidah; namun ada juga makna, cerita, filosofi, dan perbedaan cara mengolah yang tak kalah unik.
Makanan Indonesia juga tidak terlepas dari hasil akulturasi budaya; ada yang dari Belanda, Cina, dan berbagai daerah lainnya. Beberapa contoh makanan dari hasil akulturasi budaya Indonesia dan Cina misalnya ada Loenpia Semarang, Bubur Ikan Pontianak dan lainnya. Sementara itu dari Belanda ada Klapertaart, Sup, dan lainnya.
Lain lagi dari Aceh, banyak sekali jejak kuliner India yang membekas di sana. Misalnya saja ada Martabak Aceh, Roti Canai, dan lainnya. Akulturasi ini yang membuat makanan Indonesia juga punya rasa yang beragam.
Makanan Indonesia sebagai ekspresi spiritual
Tidak hanya soal penyatuan budaya, makanan Indonesia juga dipandang sebagai ekspresi spiritual. Misalnya saja makanan pada Upacara Ngaben di Bali; biasanya ada lemak perut babi hati cabai, dan yang terkenal tentunya ada lawar.
Lawar dibuat berdasarkan simbol warna para dewa di setiap penjuru mata angin. Lawar Kuning melambangkan Bhatara Mahadewa, Lawar Kuning melambangkan Bhatawra Wisnu, Lawar Campuran melambangkan Bhatara Siwa, Lawar Putih melambangkan Bhatara Iswara, dan Lawar Merah melambangkan Bhatara Brahma.
Contoh lainnya ada Sate yang sebenarnya begitu dekat dengan kita. Sate atau sesate dalam bahasa Bali merupakan salah satu upakara (sarana) upacara agama Hindu di Bali. Biasanya sate dibuat pada saat menyambut hari suci
Galungan dan Kuningan, tepatnya pada hari penampahan
Dalam upacara, sate memiliki makna simbolis yakni sebagai lambang alat-alat perang. Sate bermakna masyarakat Hindu Bali yang selalu berjuang mencari kemenangan dari hal-hal yang bersifat negatif. Dalam buku Dharma Caruban (karya Wayan Budha Gautama) Tuntunan membuat olahan / Bebanten terdapat sembilan Sate Galungan atau Sate Penawan Sangan yang melambangkan senjata Sang Hyang Nawa Dewata yaitu Sate Asem, satu Suduk Ro, Sate Jepit Babi, Sate Jepit Balung, Sate Kuung, Sate Srapah, Sate Sepit Gunting, Sate Letlet, dan Sate Lembat.
Makanan di Bali juga pada dasarnya menjadi ucapan rasa syukur. Konsep sajen merupakan sebuah bukti bahwa makanan harus hadir sebagai persembahan sebelum dinikmati manusia.
Selain di Bali, makanan di Kalimantan Timur, tepatnya di Kutai Barat juga sangat erat kaitannya dengan ekspresi spiritual. Makanan juga menjadi bagian penting dalam ritual Gugu Tahun dan pemberian makan kepada arwah.
Di Kutai Barat, Ikan merupakan protein yang tidak menjadi bagian dari hewan persembahan. Tetua Dayak beranggapan, hewan darat merupakan saudara tua dari manusia dan patut dijadikan persembahan.
Baca juga: Upacara Nalith Taotn di Kutai Barat
Lain lagi di Toraja. Di sana ada Upacara Rambu Solo’ yang diikuti oleh kalangan bangsawan. Biasanya tersedia 24-100 kerbau untuk dijadikan persembahan.
Sementara itu di Jawa, ada beberapa tumpeng yang erat kaitannya dengan ritual adat. Dilansir dari buku yang ditulis Ibu Murdijati Gardjito, berikut adalah beberapa jenis tumpengnya:
1. Tumpeng Kapuranto
Tumpeng ini merupakan simbol permohonan maaf yang direpresentasikan dalam nasi Tumpeng yang berwarna biru blawu. Isi nasi tumpengnya cukup beragam, mulai dari Sambal Goreng Daging, Urap, Bakmi, Capcai, telur, Semur Daging, Perkedel, Acar, dan kerupuk.
Lauk pauk ini diletakkan mengelilingi Tumpeng. Orang yang menerima Tumpeng Kapuranto sudah tahu bahwa pengirimnya bermaksud meminta maaf atas kesalahan yang telah dilakukan.
2. Tumpeng Duplak
Tumpeng Duplak terdiri dari nasi putih. Saat dicetak dalam kukusan, terlebih dahulu diletakkan sebutir telur rebus yang masih berkulit sehingga pada saat Tumpeng diletakkan pada tampah, puncak Tumpeng akan cekung (legok) sebesar telur ayam, tidak runcing seperti Tumpeng pada umumnya.
Lauk-pauk yang menyertai Tumpeng Duplak adalah Sambal Goreng Daging Giling, Capcai, Acar Mentimun, Terik Daging Sapi atau Semur Daging. Biasanya ada pula Telur Pindang. Telur Ceplok, Perkedel, kerupuk udang atau Rempeyek Kacang.
Tumpeng ini dimaksudkan agar semua permohonan pemangku hajat dapat dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini disimbolkan dengan aneka lauk-pauk yang menggambarkan aneka keinginan baik yang bermacam-macam dari pemangku hajat.
3. Tumpeng Punar
Tumpeng Punar mempunyai makna agar pemangku hajat mempunyai kehidupan yang bersinar terang dan cerah seperti warna kuning yang terpancar dari Tumpeng ini.
Nasi Tumpeng yang berwarna kuning merupakan lambang kebahagiaan dan kegembiraan, dalam hal ini kegembiraan akan datangnya seorang anak dalam keluarga. Warna kuning juga identik dengan warna emas yang melambangkan kemakmuran dan kekayaan. Dengan adanya sesaji ini diharapkan harta dan kekayaan penyelenggara upacara akan bertambah banyak.
Makanan sebagai ekspresi survival
Pada dasarnya, makanan memang punya tujuan untuk mengenyangkan perut manusia. Oleh karena itu, makanan merupakan elemen penting dalam ketahanan hidup manusia. Contohnya saja saat masa-masa perang. Saat itu, makanan dibuat untuk menjadi asupan gizi mereka yang berjuang.
Sebut saja Rendang, yang selalu dibawa orang Minang jika merantau, Ikan Kayu atau Keumamah dari Aceh. Gadung atau Krabe Janeng, juga menjadi andalan bekal saat perang bagi pejuang Aceh. Biasanya makanan ini bisa tahan lama, sederhana, namun kaya gizi. Cocok sebagai persediaan makanan untuk jangka panjang.
Makanan sebagai simbol interaksi sosial
Setiap daerah memiliki kekhasan oleh-oleh makanan kekinian. Jika bepergian tanpa mendatangi sentra oleh-oleh yang lagi nge-trend, rasanya kurang lengkap. Oleh-oleh makanan yang diberikan kepada teman atau kerabat biasanya menjadi bahan percakapan.
Saat ini percakapan mengenai makanan di media sosial khususnya Instagram sangat marak. Makanan, atau tempat makan juga sering dipakai kebanyakan orang sebagai obyek image building dan status ekonomi. Dipakai juga sebagai pencitraan, ketika seseorang yang berkecukupan ingin menjadi Populis atau justru sebaliknya, makanan menjadi obyek mengangkat status ekonomi.
Makanan sebagai identitas Geografis
Makanan juga bisa jadi penanda identitas geografis di sebuah daerah. Coba perhatikan, ada beberapa makanan yang mungkin bisa ditemukan di suatu daerah, namun tidak bisa ditemukan di daerah lain. Misalnya saja, saya menemukan cabai Katokkon saat berkunjung di Toraja. Agak sulit menemukan cabai ini walau di Jakarta, yang merupakan ibukota Indonesia.
Dari Padang ada lado dan batu lado yang juga mungkin asing di daerah lain, sementara di Ambon dan Jayapura ada Sagu yang nikmat untuk ngopi atau ngeteh sore. Beda lagi di Jailolo yang biasanya menyajikan Pisang Mulut Bebek untuk ngopi atau ngeteh. Semuanya sedap, dan lebih nikmat bila disantap sambil menikmati suasana di daerahnya masing-masing.
Makanan sebagai social business
Jenis makanan Indonesia yang beragam dan unik membuat kuliner Indonesia juga bisa jadi penunjang bisnis sosial. Misalnya saja Warung Tegal atau Nasi Kapau yang menjadi inspirasi banyak orang untuk membuka usaha sejenis baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Jaringan Bisnis Akar Rumput
Makanan Indonesia memberikan peluang besar pada pemberdayaan ekonomi : menjadi salah satu poros perputaran ekonomi rakyat dan bisnis yang paling populis
Makanan sebagai simbol status sosial
Kemudian yang baru-baru ini muncul adalah makanan sebagai simbol status sosial. Kemunculan platform media sosial menjadikan sebuah makanan menjadi ajang menunjukkan simbol status sosial.
Pernah berpikir ‘Wah, saya harus post foto ini karena tempat makannya fancy!” atau mungkin keinginan untuk mengunggah foto makanan sehat bagi para pegiat makanan sehat. Kemudian semua fotonya menggunakan hashtag yang sesuai sehingga bisa dilihat secara luas. Secara tidak sadar, saat itu kita sedang menyatakan status sosial kita.
Menarik, bukan? Ada banyak sekali makna dan simbol yang bermunculan dari satu piring makanan. Tak heran juga, bahwa jadi banyak yang tertarik dengan kuliner; tidak hanya soal tampilannya tapi juga soal cerita di baliknya.
Jadi, coba untuk banyak cari tahu tentang makanan. Bukan soal tampilannya saja, tapi juga cerita, budaya, dan sejarah yang juga merupakan bumbu menarik untuk dibincangkan.
Sampai jumpa di event lainnya!