“Foto saya kakak, jangan foto ikannya saja “ ujar seseorang dengan nada khas logat Sumba. Suasana perjalanan saya kali itu diramaikan dengan para penjual ikan di pasar Matawai yang bersemangat menjajakan ikan di atas meja dengan lampu neon putih. Sepertinya khasiat lampu neon yang dipasang itu, agar tidak ada lalat yang mampir. Saya justru melihat ikan-ikan tersebut jadi cantik lighting-nya karena warna silver ikan semakin memikat untuk difoto.
Mereka juga sesekali menyiram ikan dengan air laut supaya selalu segar. Ikan yang paling populer di sini adalah Ikan Tembang. Ikan ini sejenis sardin, tetapi lebih ramping. Ada juga ikan bobara, marlin, dan ikan transparan yang diberi nama ikan putih. Menurut penjual, ikan putih cocok dimasak lawar atau acar.
Suasana sore hari di sekitar pelabuhan sangat indah. Banyak penjual ikan yang dapat kita temui sampai malam hari. Tampak meriah dengan lampu-lampu neon menerangi ikan. Secara keseluruhan, Pasar Inpres Matawai ini bersih, teratur dan rapi. Para pedagang berjualan outdoor, ada sebagian area yang berjualan di dalam ruangan, dan beralas tikar.
Tidak hanya ikan, ada juga hasil pertanian yang dijual di pasar ini. Mau tahu apa saja hasil pertanian yang dijual? Banyak! Ada tomat besar, bunga pepaya, daun singkong, sawi segar, wortel, dan kol. Banyak pula yang menjual ubi, labu, serta talas.
Yang memikat mata saya adalah ramainya penjual pinang potong kering, buah sirih, dan kapur. Persaingan ketat rupanya. Tidak heran, karena kebiasaan menyirih di Sumba masih lekat. Tua muda, laki perempuan.
Saya senang melihat bagaimana mereka menata buah sirihnya. Ada yang diberdirikan, ada yang digeletakkan begitu saja. Untuk kapurnya, biasa ditaruh di kantong plasti kresek. Namun, sebagian ada yang dijual dengan kemasan tas tradisional dari daun lontar.
Kemudian yang tak kalah menarik, cabai rawit Sumba beda lho dengan cabai rawit di tempat lain. Bentuknya lebih kecil dari cabai rawit biasa, ukurannya antara 0.5 – 1 cm. Warnanya ada yang hijau, merah, dan oranye. Aromanya pedas.
Cara menjualnya juga unik, yaitu per satu mangkok, dan tiap pedagang punya ukuran mangkok sendiri. Saya tidak melihat pedagang yang memakai timbangan di sana.
Di bagian dalam pasar, ada pula yang unik. Salah satu kios memajang aneka kulit kayu, untuk pengobatan. Saya pikir semuanya sama, ternyata berbeda nama dan fungsinya. Ada kayu Genoa, Tadalinu, Hamoi, dan Cendana Bautai. Hmmm, semuanya asing di telinga saya.
Setelah mecari tahu lebih lanjut, ternyata cara memanfaatkannya pun ada yang harus direbus, dan ada juga yang hanya ditempelkan di kepala atau di badan.
Saya juga sangat senang karena menemui mama yang menjual kulit kayu yang diikat dengan daun kering. Saya tanya untuk apa? Dan ternyata untuk pewarna alam kain! Aha! Baru kali ini saya ke pasar tradisional ada yang menjual pewarna alam untuk kain. Sudah pasti saya membelinya!
Jika teman-teman berkesempatan mengunjungi Waingapu, jangan lupa mampir pasar Matawai ya. Pasar yang memiliki arti Mata Air ini pasti bikin teman-teman betah karena, penjualnya pun ramah-ramah. Sebelum ke pasar, bolehlah mampir sarapan nasi kuning dahulu dekat pasar.
Nasi kuning ibu Suryani yang sudah 13 tahun berjualan ini punya lauk khas yaitu Ikan Tembang masak merah dan perkedel ikan. Sungguh nikmat!